Selasa, 30 Januari 2018

MEDIA PEMBELAJARAN “nama-nama hewan bahasa indonesia dan bahasa arab”






MEDIA PEMBELAJARAN
Siti Salimatun Suburiyah
Rabu,31 januari 2018

“nama-nama hewan bahasa indonesia dan bahasa arab”

“nama-nama hewan bahasa indonesia dan bahasa arab” adalah sebuah media pembelajaran tradisional yang terbuat dari kertas. dibuat guna mempermudah seorang pengajar dalam menyampaikan mata pelajaran  Bahasa indonesia dan arab, lebih tepatnya mengenalkan nama nama hewan dalam Bahasa arab. 


Adapun alat dan bahan yang perlu disediakan dalam pembuatan“nama-nama hewan bahasa indonesia dan bahasa arab” antara lain:
1.      Kertas karton
2.      Kertas asturo
3.      Ketas HVS
4.      Doubeltip
5.      Gambar hewan
6.      Gunting
7.      Penggaris
1.      Cara Pembuatan media pembelajaran:
1.   siapkan kertas sebagai alas ? background
2.   carilah gambar-gambar hewan yang sesuai dan terkait dengan media yang    akan dibuat dan digunakan semestinya
3.   ketikan materi nama-nama hewan bahasa indonesia dan arab
4.   ketik judul di background dengan huruf besar
5.   siapkan kertas asturo kemudian gunting agar menyerupai tempat amplop, lalu digunakan untuk tempat gambar hewan dan dengan jarak 1 cm
6.   Judul yang sudah diketik dengan tulisan besar kemudian gunting dengan rapi lalu tempelkan ke background media yang sedang kita buat dan ditaruh paling atas
7.   kemudian tempelkan nama-nama hewan bahasa indonesia tepat digambar hewan yang sesuai dengan nama hewan tersebut
8.   Setelah gambar sudah ditempel diatas kertas yang menyerupai amplop dan sudah tertulis nama hewan dalam bahasa indonesia kemudian kita selipkan translit kedalam bahasa arab dan masukan kedalam kotak yang bergambar hewan tersebut

2.      Cara Menggunakan media pembelajaran
1.      Seorang pendidik harus mampu menjelaskan judul yang akan disampaikan dalam materi media pembelajaran yang akan dibahas
2.      Setelah siswa mengetahui judul materi, ajaklah siswa untuk mengingat pernah belajar materi tersebut atau belum lalu gunakan strategi yang baik agar anak mampu menebak-nebak apah materi yang akan disampaikan menarik atau tidaknya.
3.      Setelah siswa paham dengan materi tersebut, kemudian pendidik / guru mengajak siswa untuk bermain dengan media pembelajaran

Seperti dibawah ini cara menggunakan media pembelajaran:

1.     Lihat gambar hewan yang terdapat pada media tradisional yang telah dibuat, pilih gambar hewan yang disukai / mengikuti perintah guru, hewan mana yang akan dipilih.
2.     kemudian tebak  nama sesuai dengan gambar hewan
3.     lalu tebak hewan dalam translite bahasa Arab
4.     jawaban ada dalam  kotak amplop kecil pada background (media tradisional yang dibuat).

3.       Kelebihan : media di atas (nama-nama hewan indonesia dan bahasa arab)
Agar siswa lebih paham bagaimana cara bermain sambil belajar men-translate nama hewan dalam bahasa indonesia ke dalam bahasa Arab

4.      Kekurangan : media di atas ( nama-nama hewan indonesia dan bahasa arab)
Siswa kurang menguasai materi jika siswa tidak memperhatikan gambar yang dijelaskan oleh guru karena dalam translate bahasa indonesia ke dalam bahasa Arab butuh ke-fokusan dalam pembelajaran.




SEJARAH ISLAM DI JEPANG


   A.   SEJARAH ISLAM DI JEPANG

Agama islam atau ( isuramu kyou ). Tidak ada catatan yang jelas maupun jejak sejarah yang jelas mengenai kontak antara Islam dan Jepang serta kapan persisnya Islam masuk ke Jepang. Tapi setidaknya dapat diketahui bahwa Islam masuk ke Jepang melalui penyebaran ide/pemikiran religius dari Barat (Western) pada tahun 1877. Pada masa itu kisah hidup Nabi Muhammad SAW diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Hal ini menyebabkan Islam mampu hadir dan diterima di tengah kalangan intelektual Jepang, walaupun Islam pada saat itu hanya dipandang sebagai sebentuk pengetahuan serta bagian dari sejarah budaya. Kontak lain yang juga tidak kalah penting adalah ketika Turki Ottoman mengirimkan utusan berupa armada angkatan lautnya ke Jepang pada tahun 1890. Tujuan dari misi diplomatic ini adalah untuk menjalin hubungan antara dua negara dan untuk saling mengenal satu sama lain. Armada angkatan laut ini dinamakan “Ertugrul”. Armada ini kemudian terbalik dan kandas di tengah perjalanan pulangnya, Dari 600 (enam ratus) penumpang, hanya 69 (enam puluh sembilan) yang selamat. Pemerintah maupun rakyat Jepang bersama-sama berusaha menolong para penumpang yang selamat dan mengadakan upacara penghormatan bagi arwah penumpang yang meninggal dunia. Mereka yang selamat, akhirnya dapat kembali ke negara mereka berkat sumbangan yang berhasil dikumpulkan dari seluruh rakyat Jepang. Peristiwa ini menjadi pencetus dikirimnya utusan pemerintah Turki ke Jepang pada tahun 1891 (seribu delapan ratus sembilan puluh satu). Hubungan yang sangat baik dengan Turki ini, juga membawa kemenangan bagi Jepang dalam peperangan dengan Rusia yang dimulai pada tahun 1904 (seribu sembilan ratus empat). Dikatakan, pada saat armada kapal kekaisaran Rusia melintasi laut Baltik, Turki memberitahukan hal tersebut kepada Jepang, dan karena itu, Jepang meraih kemenangannya.[1]
Orang Jepang yang pertama kali masuk Islam adalah Mitsutaro Takaoka yang menjadi Muslim tahun 1909 dan kemudian berganti nama menjadi Omar Yamaoka. Namun, penelitian lain menyebutkan bahwa orang jepang bernama Torajiro Yamad kemungkinan merupakan pemeluk islam pertama di jepang dan ia pernah berkunjung ke Turki. Komunitas muslim baru di  jepang ada setelah kedatangan pengungsi dari Uzbek, Kirgih kazakh, dan kaum Tatar muslim yang lari akibat terjadi Revolusi Bolshevik di Rusia selama perang dunia I. Pemerintahan kekaisaran jepang kemudian bersedia menyediakan lahan bagian tempat tinggal mereka di beberapa kota sampai membentuk komunitas- komunitas kecil.
Sejarah dakwah di Jepang pada 14 tahun terakhir didasarkan pada upaya-upaya Muslim asing (orang-orang Muslim yang berasal dari luar Jepang) yang tinggal di Jepang. Mereka umumnya membentuk komunitas kecil serta menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ke-islaman di Jepang, sambil menuntut ilmu atau bekerja di Jepang, Setelah Perang Dunia II, komunitas Muslim Turki merupakan komunitas terbesar di Jepang. Jepang pasca perang merupakan sebuah negara yang terkenal dengan simpatinya yang besar terhadap orang-orang Muslim yang berasal dari Asia Tengah, menganggap mereka sebagai sekutu Uni Soviet. Pada saat itu terdapat beberapa orang Jepang yang bekerja sebagai mata-mata yang mengadakan interaksi langsung dengan komunitas Muslim ini. Beberapa diantaranya terbuka matanya tentang Islam dan kemudian memeluk Islam setelah perang berakhir. Ada juga yang pergi ke Asia Tenggara seperti Malaysia sebagai tentara selama Perang Dunia II berlangsung. Ketika menembaki wilayah Malaysia dari udara, sang pilot Jepang ini menginstruksikan anak buahnya untuk mengucapkan kalimat Tauhid “Laa Ilaha illallohu”. Dan ketika mereka ditembak jatuh oleh tentara musuh di wilayah Malaysia, mereka melontarkan kalimat Tauhid agar diberi perlakuan yang baik oleh penduduk setempat. Dan memang mereka diberi perlakuan yang layak. Para tentara Jepang yang menetap di Malaysia ini akhirnya tetap menjaga kalimat Tauhid itu sampai sekarang. Mereka disebut Muslim generasi tua.[2] Mereka menjadi sebuah kelompok minoritas Muslim Jepang pasca perang, dan hidup bersama-sama dengan komunitas-komunitas Muslim yang berasal dari negara lain, yang pada saat itu baru terbentuk. Secara umum, orang-orang Jepang pada saat itu mempunyai prasangka negative (prejudice) yang kuat terhadap Islam dan pengetahuan serta pemahaman mereka mengenai komunitas internasional amatlah terbatas. Sebagai contoh, dalam sebuah artikel yang dimuat di sebuah majalah tahun 1958, lima pilar Islam (rukun Islam) digambarkan dengan membuat judul “The Strange Customs of Mohammedans (Adat-Istiadat Muhammad yang Aneh) Orang-orang Jepang memiliki sebuah stereotip terhadap citra Islam sebagai sebuah agama aneh yang berasal dari negara-negara berkembang. Bahkan pada saat sekarang pun, meskipun telah dilakukan perbaikan, citra semcam ini belum bisa dihapus sepenuhnya. Beberapa tahun yang lalu, seorang penulis terkenal yang concern dalam bidang social mengatakan pada salah satu program acara TV bahwa Islam merupakan sebuah agama yang pengikutnya menyembah matahari Invasi Jepang terhadap China dan negara-negara Asia Tenggara selama Perang Dunia II.[3]
Munculnya komunitas muslim itu, akhirnya berdampak didirikanya sejumlah bangunan masjid. Salah satu yang dianggap penting adalah masjid Kobe yang dibangun pada tahun 1935 dan Masjid Tokyo tahun 1938. Masjid kobe adalah masjid tertua di jepang yang didirikan pada tahun 1935 yang pembangunanya didanai oleh komite islam Kobe. Ketika perang dunia ke-2, hampir seluruh kawasan jepang termasuk Kobe hancur akibat ledakan bom di daerah Hiroshima dan Nagasaki, namun berkat kekuasaan Allah Swt, Masjid tetap berdiri kokoh dan menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa ketika itu. Masjid kobe sekali lagi diuji dengan gempa yang melanda kota tersebut pada tanggal 17 januari 1995. Gempa berkekuatan 6,9 Skala Richter itu telah membumi hanguskan kota kobe.   Ketika saya melihat arsip dokumen yang dipajang di bagian belakang masjid, saya tertegun sekaligus takjub dengan kebesaran Allah. Di dalam foto terlihat sesaat setelah gempa dahsyat tersebut, Sepanjang mata memandang,semua bangunan rata dengan tanah. Korban tewas tertulis berjumlah 5.502 orang. Allah kembali menunjukkan mukjizatnya. Masjid kobe tetap kokoh berdiri di tengah puing- puing reruntuhan bangunan lainnya.
Berkat komunikasi yang intens antar pemeluk islam beberapa penduduk jepang pun beralih ke islam saat itu. Islam mengalami perkembangan pesat selama berkecampuknya Perang Dunia II. Kekaisaran dan militer Jepang banyak menjalin hubungan dengan sejumlah organisasi dan pusat kajian islam serta negara islam. Pada masa ini sebanyak 100 buku dan jurnal mengenai Islam terbit di Jepang. Namun, tujuan utama pihak militer mendekati kalangan adalah guna mendapat pengetahuan tentang Islam dalam kaitan rencana invasi ke negara-negara Asia Tenggara yang berpenduduk muslim. Tahun 1953 organi muslim pertama(Japan muslim Association) berdiri di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlah anggotanya masih sebanyak 65 orang dan bertambah dua kali lipat dua tahun kemudian. Pengganti Sadiq adalah Umar Meta. Dia mempelajari islam ketika bekerja di Cina saat perang dunia II. Karena sering kali berhubungan dengan umat muslim Peking-Cina.
Lama kelamaan Umar percaya terhadap ajaran Islam dan memutuskan beralih menjadi muslim, Sesudah kembali ke Jepang, dia pergi ke tanah suci Mekah dan tercatat sebagai orang Jepang pertama yang berhaji setelah masa perang. Tidak hanya itu, Umar selanjutnya juga membuat terjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Jepang.Satu lagi masa kejayaan islam di Jepang tatkala terjadi krisis minyak dunia tahun 1973. Negara negara Timur Tengah mengembargo pasokan minyak mentahnya pada negara yang mendukung Israel. Oleh karenanya, perhatian warga Jepang tercurah pada perkembangan alam, khususnya di Timur Tengah. Mereka pun makin menyadari penting menjalin hubungan dengan negara-negara tersebut selagi pertumbuhan ekonomi Jepang. Akan tetapi, sekali lagi usai krisis minyak reda, Islam akan kembali dilupakan oleh masyrakat Jepang.[4]
Namun dengan berakhirnya efek oil shock, maka berakhir pula segala nostalgia ini. Ketertarikan orang-orang Jepang pada Islam menghilang secara cepat. Islamic Boom”
Menurut salah seorang Muslim Jepang, Nur Ad-Din Mori, beberapa tahun mendatang akan terjadi perkembangan Islam yang signifikan di Jepang. Hal ini ditandai dengan kembalinya lima pelajar Muslim ke Jepang setelah mereka menyelesaikan studinya tentang Islam di negara-negara Arab. Dua lulusan berasal dari Umm al-Qura University, Mekah, satu lulusan berasal dari Islamic University, Madinah, dan satu lagi berasal dari Dawa College, Tripoli dan terakhir berasal dari Qatar University. Meskipun para pelajar yang concern ke studi Islam ini jumlahnya tidak signifikan, namun hal itu sudah cukup bagus mengingat sebelumnya hanya ada enam pelajar yang concern ke Islamic Studies selama 20 tahun terakhir. Islam merupakan sebuah agama yang memberi penekanan pada pentingnya ilmu dan kita tidak dapat menegakkan Islam tanpa memahaminya (belajar). Nori merasa bahwa segenap upaya yang dilakukan untuk mengembangkan Islam di Jepang sekarang ini mengalami sedikit penurunan. Mori juga mengeluhkan permasalahan lain yang dihadapi oleh para Muslim di Jepang : hanya ada sedikit orang yang bisa memberi pengajaran tentang Islam kepada masayakat local dengan menggunakan bahasa Jepang.
Sampai kini Islam seolah sulit berkembang di Jepang. Salah satu penyebabnya adalah ketaatan warga Jepang terhadap kepercayaan sinto dan Buddha. Statistik menyebutkan,sekitar 80 persen penduduk memeluk Sinto dan Buddha. Lainnya satu dari empat yang menganut agama lain. Adapun agama Islam dianut oleh sekitar satu setengah juta jiwa. Jumlah ini terbilang kecil dibandingkan populasi Jepang sebanyak 120 juta jiwa. Sebagian besar pemeluk islam ini adalah para pelajar dan imigran dari negara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Hanya sedikit yang warga asli Jepang. Umumnya terkonsentrasi dari kota-kota besar semisal Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka, dan Tokyo. Secara rutin, dakwah juga berjalan rutin pada komunitas-komunitas muslim ini. Pada kenyataannya pula Assosiasi pelajar muslim serta organisasi keagamaan kerap menyelenggarakan acara bersama dan diskusi untuk menambah pengetahuan ke-Islaman. Selain itu acara tersebut terbukti cukup efektif  dalam membina persaudaraan sesama Muslim. Beberapa tahun lalu. Dr.Saleh Samarrai yang pernah belajar di negara Sakura itu dari tahun 1960,  membentuk Japan Islamic Center dan menyusun metode dakwah efektif di Jepang. Sumbangsihnya ini akhirnya mampu mendorong upaya pengembangan Islam serta mengenalkan Islam secara luas pada masyarakat Jepang yang kosmopolitan.[5]           
B.     PERKEMBANGAN ISLAM MODERN DI JEPANG
Pada masa kini ketika Jepang menjadi salah satu tujuan pendidikan, usaha dan wisata yang populer, banyaknya pekerja, pelajar dan wisatawan muslim turut mempengaruhi perkembangan Islam disana. Minister Sato, Wakil Duta Besar untuk Indonesia menyatakan: "Di Jepang pada tahun seribu sembilan ratus tiga puluhan (1930-an), hanya ada dua masjid, namun saat ini sudah terdapat lebih dari seratus masjid. Masyarakat Islam yang ada di Jepang, paling banyak orang Indonesia, kemudian orang Pakistan, Bangladesh, dan Iran. Pusat Islam dan Asosiasi Muslim Jepang di Tokyo menjadi pusat studi Islam dan Bahasa Arab bagi warga Jepang, yang banyak menarik perhatian warga muda Jepang. Saya percaya, akumulasi dari berbagai usaha yang kecil seperti ini, dapat memberi adil bagi dunia yang lebih damai. Kyoto juga berencana menjadi kota yang ramah terhadap muslim. Pasca pembebasan visa pada Juli 2013, jumlah pengunjung muslim asal Malaysia ke Jepang meningkat dan mendorong pemerintahan di Kyoto mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kyoto memiliki kelompok studi di bawah Asosiasi Muslim Kyoto. Asosiasi yang berdiri sejak tahun 1987 ini mengusahakan agar muslim dapat mengunjungi masjid dan beribadah di dalamnya, menyediakan ruangan dengan petunjuk arah qiblat, juga memberikan informasi terkait tempat-tempat makan halal yang di Kyoto.
Serangan jepang terhadap China dan negara-negara Asia Tenggara semasa Perang Dunia II menghasilkan hubungan-hubungan antara orang-orang Jepang dengan orang-orang Muslim. Mereka yang memeluk agama Islam melalui hubungan-hubungan itu kemudian mengasaskan Persatuan Jepang Muslim di bawah pimpinan Allaharham Sadiq Imaizumi pada tahun 1953. Persatuan tersebut ialah organisasi Jepang Muslim yang pertama. Ketua kedua persatuan ini ialah Allahyarham Umar Mita. Mita merupakan orang Islam yang tipikal bagi generasi tuanya yang mempelajari Islam di wilayah-wilayah yang diduduki oleh Kekaisaran Jepang. Melalui hubungan-hubungannya dengan orang-orang Cina Muslim, dia memeluk Islam di Beijing.Saat Mita kembali ke Jepang selepas perang, dia menunaikan haji, dan merupakan orang Jepang pertama sesudah peperangan untuk berbuat demikian. Mita juga membuat terjemahan AL-Quran bahasa Jepang untuk pertama kali. Oleh itu, hanya selepas Perang Dunia II baru terdapat sebuah komunitas di Jepang.[6]
Menjadi bangsa yang terbuka bagi dunia, Jepang giat memberikan bantuan, termasuk beasiswa bagi para pelajar berprestasi dari berbagai negara termasuk negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia sehingga tidaklah mengherankan jika mayoritas populasi Muslim di Jepang adalah orang asing dan yang paling banyak adalah orang Indonesia, selain India dan Pakistan. Jumlah populasi Muslim Indonesia di Jepang sendiri mencapai 20.000 (dua puluh ribu) orang. Populasi Muslim Indonesia di Jepang ini giat melakukan kegiatan-kegiatan keislaman yang berada di bawah payung berbagai macam organisasi dan lembaga, mulai dari yang bersifat social semacam PMIJ (Persaudaraan Muslim Indonesia Jepang), FLP (Forum Lingkar Pena) Jepang, sampai yang bersifat politis seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Jepang dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Jepang. Biasanya orang-orang yang berafiliasi dalam organisasi Tidak hanya orang Indonesia saja yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mereka selenggarakan, ternyata orang-orang Jepang pun tertarik mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Setelah terjadi peristiwa teror 11 September 2001 (di New York), masyarakat Jepang juga memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Islam. Selain organisasi dan lembaga yang dikelola Muslim asing, Muslim Jepang juga memiliki organisasi dan lembaga keislaman yang mereka kelola sendiri, seperti Japan Association of Middle East Studies (JAMES). JAMES ini aktif menyelenggarakan kajian-kajian (dalam bentuk seminar maupun diskusi) seputar Islam. Dan dari hasil pengkajian Islam yang intensif dilakukan di kampus-kampus terkenal di Jepang itu lahirlah sarjana-sarjana Islam Jepang sekaliber Prof. Sachiko Murata, pengarang buku The Tao of Islam yang terkenal itu. Prof. Sachiko Murata sendiri akhirnya memeluk Islam setelah belajar Islam di Fakultas Teologi University of Tokyo. Japan Muslim Association yang sudah berdiri sejak 1953 sendiri sekarang ini sangat giat melakukan penerjemahan dan menerbitkan kitab suci Al-Quran, Hadits Nabi, serta buku tentang cara sholat. Hal ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan mengingat beberapa tahun yang lalu untuk merekrut anggota saja masih sulit dilakukan oleh organisasai muslim jepang.[7]
Seorang Guru Besar Fakultas Teologi Universitas Doshisha, Hassan Ko Nakata, yang memeluk Islam setelah mempelajari Islam di Fakultas Agama Islam University of Tokyo selama 3 tahun, yang pada 9 Maret 2005 lalu berceramah di Pesantren Cigadog, mengatakan bahwa perkembangan Islam di Jepang juga banyak dipengaruhi oleh banyaknya wanita-wanita Jepang yang menjadi Muslim karena menikah dengan pria Muslim asing. Pemeluk Islam di Jepang adalah bukan sejak lahir, namun setelah dewasa barulah menjadi pengikut Islam atas kemauan sendiri. Namun sekali lagi, jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total populasi penduduk Jepang. Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan yang paling baik untuk menyiarkan agama Islam di kalangan Bangsa Jepang. Sebab ketidaktahuan yang menjalar di belakang benda duniawi telah menyebabkan bangsa yang menyebut dirinya maju itu menjadi mangsa atau korban kekosongan jiwa. Dan Islam adalah satu-satunya agama yang sanggup mengisi kekosongan jiwa mereka. Kalaulah langkah-langkah teratur dilakukan untuk dakwah Islam di Jepang sekarang, maka tidak akan lebih dari dua atau tiga turunan, seluruh bangsa ini telah memeluk Islam. Saya menegaskan bahwa usaha serupa akan merupakan pertolongan yang besar buat Islam di Timur Jauh, sekaligus merupakan nikmat terbesar bagi kemanusiaan di bagian dunia ini.[8]

 




 



 




Sulaiman, M., & Sugiyono. (2013). Perjalanan Sejarah Kebudayaan Islam. PT Tiga Serangkai Pustaka Mand.







TOKOH – TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN



     Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan mendalam, sehingga diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain perumusan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis.
Dalam perkembangan pendidikan menjadi cabang ilmu yang mandiri dipengaruhi oleh pandangan dan konsep yang dikemukan oleh para filosofi..
· Plato (428-348 SM)[3]
Plato merupakan filosofi yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah khusus yang disebut ‘academia’. Plato berpandangan bahwa konsep ide merupakan pandangan terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada. Artinya apa yang diamati sehari-hari adalah ide tersebut, sebagai sumber segala yang ada: kebaikan dan keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang didalamnya berpusat dan dikendalikan oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai tuhan
· Aristoteles (384 – 348 SM)[4]
Aristoteles yang merupakan bapak ilmu berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Pandangan ini berkembang pada abad 13 – 14.
Aristoteles berpandangan bahwa ilmuan hendaknya menarik kesimpulan secara induksi dan deduksi. Dalam tahapan induksi, generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan umum) tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-pernyataan tentang observasi.
Penyempurnaan teori aristoteles dilakukan oleh beberapa filosofi lain yaitu:
§ Robert Grosseteste yang menyebutkan bahwa metode induktif-deduktif Aristoteles sebagai Metode perincian dan penggabungan. Tahap Induksi meruapakan sebuah perincian gejala yang menjadi unsur-unsur pokok dan tahap deduksi sebagai penggabungan unsur-unsur poko yang membentuk gejala asli.
§ Roger Bacon mengusulkan agar matematika dan eksperimen merupakan dua instrumen utama dari penyelidikan ilmiah. Dia mengemukakan ada tiga hak istimewa Ilmu Eksperimental : (1) kesimpulan yang diperoleh melalui penalaran induksi diuji lebih dulu dengan eksperimen; (2) penggunaan eksperimen dalam penyelidikan ilmiah menambah ketelitian dan keluasan pengetahuan faktual; (3) dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan ilmu-ilmu lainnya, eksperimen dapat menyelidiki rahasia alam.
§ John Duns Scotus yang menegaskan sebuah metode induksi dalam bentuk persamaan, yaitu merupakan teknis analisis sejumlah hal khusus yang mempunyai pengaruh khusus terhadap peristiwa.
§ Ockham yang menegaskan metode induksi dalan bentuk perbedaan, bahwa ilmuwan dalam menyusun pengetahuan tentang apa yang diciptakan Tuhan dengan melalui induksi hanya terdapat kesatuan-kesatuan yang bersifat pembawaan di antara gejala-gejala. Metode Ockham membandingkan dua hal khusus dimana yang satu ada pengaruhnya dan satunya lagi tidak ada pengaruhnya.
· Johan Amos Comenius[5]
Filsuf pertama yang memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan adalah Johan Amos Comenius seorang pendeta Protestan. ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan.
Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.
Hal tersebut awal dari pemikiran filsafat pendidikan naturalisme yang lahir pada abad 17 dan mengalami perkembangan pada abad 18.
Dimensi mengenai pemikiran filsafat pendidikan naturalisme adalah sebagai berikut:
§ Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh comenius
§ Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.
§ Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
§ Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke, Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra. Jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan.
Selain tokoh-tokoh barat, filsafat pendidikan dalam pandangan tokoh filosofi islam sebagaimana diuraikan berikut[6]
§ Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M)
Filosofi Islam yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
§ Abduh Ibnu Hasan Khairullah (1849 – ….M)
Filosofi Islam dari Mesir mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang seimbang, pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu menyeleraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan).
§ Muhammad Iqbal (1877 – 1938M)
Filosofi Islam dari India, berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memadukan dualisme (antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang).
§ Ahmad Dahlan (1869 – 1923M)
Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang berpandangan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan agama dan pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Iklan

Tokoh Pendidikan Klasik


Tokoh Pendidikan Klasik


A. Imam Ghazali
a)   Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M. Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar Fiqh kepada Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.[1]

b)   Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla”.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian tema Ma’rifah untuk konsep (tasawuf), dan ‘ilmuntuk assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Yaitu, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan didunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.[2]
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Gahazali ilmu terbagi kepada tiga bagian yaitu; Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit manfaatnya, baik di dunia maupun diakhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum maupun ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat baik bagi yang memilikinya maupun bagi orang lain. Kedua, ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekecauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan. Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat.[3] 

B. Ibn Sina
a)   Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah. Di barat populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.[4]

b)   Pemikiran Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.[5]
Konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina memiliki tiga ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sina tidak hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibn Sina juga sangat mempertimbangkan aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam menentukan keahlian yang akan dipilihnya. Dengan cara demikian seorang siswa akan merasa senang atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau keahlian tertentu. Kedua, bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional. Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibn Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibn Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini.[6]

C. Ibn Miskawaih
a)   Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H / 932 M, di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H / 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H / 932-1062 M). Yang sebagian besar permukaannya bermazhab syi’ah. 
Dari segi latar belakang pendidikannya, tidak dijumapi data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidi anak para pemuka dinasti Buwaihi.[7]

b)   Pemikiran Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak. Maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[8]
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibn Miskawaih menyebutkan 3 hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia, hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dan lain-lain.[9]

D.Ibnu Khaldun
a)   Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap Adbullah Abdurrahman Abu Zyad Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H / 1332 M dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibn Khaldun adalah berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat.[10]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam menjalankan tugas, ahli dalam bidang sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan masalah. Ketokohan beliau populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi , ahli falsafah dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang dasar-dasar agama seperti Al-Quran, fikih, hadis, dan tauhid. Beliau juga merupakan hafidz Quran sejak kecil. Ketika dewasa ia belajara ilmu linguistik bahasa Arab seperti Nahwu dan Sharaf, Ushuluddin serta Kesusasteraan. Diantara guru beliau yang utama adalah Muhammad Ibn Abdul Muhaimin. Beliau juga berturut berguru dengan Abu Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abla yang mengajarnya tentang sosiologi, politik dan pendidikan.[11]

b)   Pemikiran Pendidikan
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut imu dan keterampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.[12]

E. Ibn Taimiyah
a)   Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah lahir di kota Harran, wilayah Siria, pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awwal 661 H.  Bertepatan dengan 22 Januari 1263 M, dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulkaidah, 728 Hijriyah, bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab ad-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H). Adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid Agung Damaskus. Selain sebagai khatib imam besar di masjid tersebut.
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran. Didukung oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, kecerdasan otak dan kepribadian yang baik Ibn Taimiyah yang dikenal dengan wara’zuhud dan tawadhu nya, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama besar yang menguasai banyak ilmu dan pengalaman, disamping juga sebagai pejuang yang tangguh.[13]
b)   Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Ibn Taimiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi kedalam pemikirannya dalam bidang falsafah pendidikan, tujuan pendidikan bahkan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. Seluruh pemikirannya dalam bidang pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang jelas sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah melalui pemahaman yang mendalam, jernih dan enerjik.
Dalam bidang falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara mempergunakan ilmu itu akan dapat menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan terjerumus kedalam kehidupan yang sesat. Bertolak dari pandangan tersebut, maka menurut Ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah dan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum tahu merupakan shadaqah dan mendiskusikannya merupakan tasbih.[14]
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah dibangun atas dasar falsafah pendidikannya, yaitu tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintah Al-Quran dan As-Sunnah, pendidikan juga harus diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah.[15]
Konsep kurikulum yang dibangun Ibn Taimiyah didasarkan pada falsafah dan tujuan pendidikan. Menurutnya bahwa kurikulum atau materi pelajaran yang utama yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan putra-putri kaum muslimin sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada empat tahap kurikulum yang dijelaskan Ibn Taimiyah dalam hubungannya dengan materi pelajaran yaitu; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Tuhan (at-tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat). Ketiga, kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang medorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.[16]

2.  Tokoh Pendidikan Modern
A. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus
a)   Riwayat Hidup
Mahmud Yunus dilahirkan di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Februari 1899 (30 Ramadhan 1336 H). Dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Ia termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan kecenderungannya yang kuat memperdalam ilmu agama Islam. Ketika berumur 7 tahun ia belajar membaca Al-Quran dibawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Selanjutnya tahun 1917, Mahmud Yunus bersama teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah disamping sistem madrasah dengan mengajarkan kitab-kitab mutakhir.[17]
Dibidang politik, Mahmud Yunus ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat residen mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama ia menjadi anggota Chu Sangi Kai.[18]

b)   Pemikiran Pendidikan
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1930, Mahmud Yunus memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di Sungayang dengan nama al-Jami’ah al-Islamiyah, disamping mendirikan sebuah sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan umum, yakni normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki laboratorium untuk ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan di dua madrasah ini diutamakan pada pembaruan metode mengajar bahasa Arab.
Mahmud Yunus memiliki perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap upaya membangun, meningkatkan dan pengembangan pendidikan agama Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara keseluruhan bersifat strategis dan merupakan karya perintis, dalam arti belum pernah dilakukan tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya. Perhatian dan komitmennya terhadap pembangunan, peningkatan dan pengembangan pendidikan Islam tersebut dapat dilihat sebgaia berikut. Pertama, dari segi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencerdaskan perseorangan, untuk kecakapan mengerjakan pekerjaan. Selain itu Mahmud Yunus juga menilai pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempelajari dan mengetahui ilmu-ilmu agama Islam serta mengamalkannya seperti, ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqh.[19]
Kedua, dari segi kurikulum yang berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab, Mahmud Yunus Menawarkan kurikulum pengajaran bahasa Arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa Arab. Ketiga, dalam bidang kelembagaan, terlihat bahwa Mahmud Yunus termasuk orang yang memelopori perlunya mnegubah sistem pengajaran yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal. Keempat, dalam bidang metode pengajaran, Mahmud Yunus amat memberikan perhatian yang cukup besar. Untuk itu ia memperkenalkan buku pegangan bagi guru-guru agama yang berisi tentang cara mengajarkan agama yang sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan tingkat usia dan jenjang pendidikan yang sedang diikutinya.[20]

B. Ki Hajar Dewantara
a)   Riwayat Hidup
Ki hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H di Yogyakarta. Dan wafat pada 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H (berusia 70 tahun). Pada tahun 1912, nama Ki hajar Dewantara dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian Cokroaminoto untuk memperkuat barisan Syarekat Islam cabang Bandung. Oleh karena itu, ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat dengan ketua dan wakil ketua, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun keterlibatannya dalam Syarekat Islam  ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini terjadi, karena bersama dengan E.F.E. Dowes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, ia diasingkan ke Belanda (1913) atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal.
Sebagai tokoh pergerakan politik dan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga terlihat aktif sebaagi pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang diperjuangkannya melalui Sistem Pendidikan Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia.[21]  

b)   Pemikiran pendidikan
Pada masa hidupnya, Ki Hajar Dewantara banyak mengabdikan dirinya bagi kepentingan pendidikan nasional, melalui Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam kapasitasnya, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dikemukakannya. Pertama, visi misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, sehingga mereka dapa berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain. Kedua, kurikulum. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat. Ki Hajar Dewantara menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual.[22]  
Ketiga, Ki Hajar Dewantara melalui lembaga pendidikan yang diasuhnya melihat bahwa pendidikan agama dan budi pekerti amat penting bagi kehidupan manusia. Yaitu, pendidikan agama yang didasarkan pada toleransi, kebebasan menyatakan sikap keagamaan, tapi tetap realistik, yaitu sikap yang mengakui adanya mayoritas agama tertentu, tanpa mengurangi kebebasan agama minoritas.[23]

C. K.H. Imam Zarkasyi
a)   Riwayat Hidup
K.H. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. Ayahnya yang bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluaraga elit Jawa yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan pondok Gontor lama dan generasi kelima dari pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegaraan).
Ketika ia belajar di Solo, salah seorang gurunya yang amat berpengaruh ke dalam diri Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Pengalaman belajar yang beragam yang didukung oleh kecerdasan dan kesungguhannya, menyebabkan Imam Zarkasyi tampil dengan tingkat penguasaan yang memadai dalam berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu kecenderungan dan bakat Imam Zarkasyi untuk menjadi pendidik semakin besar. Ia memilih bidang pendidikan sebagai lahan perjuangan dan pilihan hidupnya.[24]

b)   Pemikiran pendidikan
Berbagai pengalaman dalam memajukan pendidikan telah mendorong Imam Zarkasyi memeras otak mencari terobosan baru dalam bidang pendidikan Islam. Terobosan baru ini ia wujudkan hampir pada sekuruh aspek pendidikan. Tujuan pendidikan yang ditekankan pada tercapainya keseimbangan hidup yang bahagia didunia dan akhirat. Dalam bidang kurikulum pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut. Yaitu kurikulum yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga ilmu pengetahuan modern yang didukung oleh kemampuan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan, tulisan dan sebagainya. Dalam bidang metode, diarahkan kepada pendekatan yang menekankan pada kemampuan menggunakan atau mengamalkan setiap bidang keilmuan yang diajarkan, khususnya dalam bidang bahasa Arab dan Inggris.[25]

D.Prof. Dr. Harun Nasution
a)   Riwayat Hidup
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari Selasa, 23 September 1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oelh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Holladsch Inlandsch School (HIS) yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berusia 14 tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasuition berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum.[26]
Dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution adalah sebagai ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikirannya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran yang demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pemikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu.[27]

b)   Pemikiran Pendidikan
Selama kepemimpinannya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah banyak gagasan pembaruan yang dipraktikkannya, antara lain; Pertama, menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hafalan, dan cenderung menganut mazhab tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa berfikir rasional, kritis, inovatif, objektif dan menghargai perbedaan pendapat. Kedua, memperbarui kurikulum. Upaya ini antara lain dilakukan Harun Nasution dengan cara memperbarui kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hanya memuat bidang kajian agama dari aliran mazhab tertentu saja, maka di zaman Harun Nasution kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditambah dengan kajian ilmu kalam dengan berbagai aliran mazhabnya, filsafat, tasawuf, serta ilmu-ilmu dasar seperti sosiologi, antropologi, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Ketiga, mejadikan IAIN sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam. Julukan yang diterima IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam tersebut muncul karena pengaruh dari serangkaian usaha yang dilakukan Harun Nasution, terutama dalam rangka menumbuhkan tradisi ilmiah.[28]

E. K.H. Hasyim Asy’Ari
a)   Riwayat Pendidikan
Hasyim Asy’Ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Februari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd Al Wahid ibn Abd Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd Al Rahman Ibn Abd Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri. Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’Ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’Ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’Ari.[29]

b)   Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau mengawali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat Al-quran, Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengandung hikmah. Dengan cara ini K.H. Hasyim Asy’Ari memberi pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun demikian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliauTujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’Ari adalah untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah).[30]