Tokoh Pendidikan Klasik
A. Imam Ghazali
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali.
Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058
M. Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,
dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar Fiqh kepada
Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada
Imam Abu Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk
mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.[1]
b) Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah
kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada
Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.Sebagaimana yang
dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan
dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla”.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti
tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi,
ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian
tema Ma’rifah untuk konsep (tasawuf), dan ‘ilmuntuk
assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai
dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat
diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan
pendidikan ada dua. Yaitu, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada
kebahagiaan didunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia
agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir pendidikan
itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah
duniawi.[2]
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat
dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Gahazali ilmu
terbagi kepada tiga bagian yaitu; Pertama, ilmu yang terkutuk baik
sedikit manfaatnya, baik di dunia maupun diakhirat, seperti ilmu sihir, ilmu
nujum maupun ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena
ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat baik bagi yang
memilikinya maupun bagi orang lain. Kedua, ilmu yang terpuji baik
sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan
macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat
dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui
yang baik dan melaksanakannya. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam,
karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya
kekecauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan. Dalam menyusun
kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama
dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat
menentukan bagi kehidupan masyarakat.[3]
B. Ibn Sina
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah.
Di barat populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M
di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia
tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan
orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428
H (1037 M) alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus
besar.
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal
di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang
tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas
biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima
tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar
adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari
ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat
ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai
berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.[4]
b) Pemikiran Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus
diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi
pekerti. Selain itu juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seorang agar
dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau
keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan
potensi yang dimilikinya.[5]
Konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina memiliki tiga
ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sina tidak hanya terbatas pada
sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga disertai dengan
penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan kapan mata
pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibn Sina juga sangat mempertimbangkan
aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam menentukan keahlian
yang akan dipilihnya. Dengan cara demikian seorang siswa akan merasa senang
atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau keahlian tertentu. Kedua,
bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina juga didasarkan
pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional. Ketiga, strategi
pembentukan kurikulum Ibn Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang
terdapat dalam dirinya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa
konsep kurikulum Ibn Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang
dikehendaki masyarakat modern saat ini.[6]
C. Ibn Miskawaih
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn
Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H / 932 M, di Rayy, dan meninggal di Isfahan
pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H / 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup
pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H / 932-1062 M). Yang sebagian
besar permukaannya bermazhab syi’ah.
Dari segi latar belakang pendidikannya, tidak dijumapi
data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah
dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar,
dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa
pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan
pendidi anak para pemuka dinasti Buwaihi.[7]
b) Pemikiran
Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu
pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar
pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak. Maka konsep pendidikan yang
dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[8]
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn
Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau
dipraktekkan. Materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih diabdikan pula sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibn Miskawaih menyebutkan 3 hal pokok yang
dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut
adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia, hal-hal yang wajib bagi jiwa,
dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Materi
pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih
antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang
wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan
pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala
kebesarannya serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang
terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan
materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dan lain-lain.[9]
D.Ibnu Khaldun
a) Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap Adbullah Abdurrahman
Abu Zyad Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan
732 H / 1332 M dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil
menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Sebuah ciri khas yang
melatarbelakangi kehidupan Ibn Khaldun adalah berasal dari keluarga politis,
intelektual dan aristokrat.[10]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam menjalankan
tugas, ahli dalam bidang sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan masalah.
Ketokohan beliau populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi , ahli falsafah
dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang dasar-dasar
agama seperti Al-Quran, fikih, hadis, dan tauhid. Beliau juga merupakan hafidz
Quran sejak kecil. Ketika dewasa ia belajara ilmu linguistik bahasa Arab
seperti Nahwu dan Sharaf, Ushuluddin serta Kesusasteraan. Diantara guru beliau
yang utama adalah Muhammad Ibn Abdul Muhaimin. Beliau juga berturut berguru
dengan Abu Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abla yang mengajarnya tentang
sosiologi, politik dan pendidikan.[11]
b) Pemikiran Pendidikan
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan
adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan
aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan
keterampilan. Dengan menuntut imu dan keterampilan, seseorang akan dapat
meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya akan
mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Atas dasar
pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan
kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut,
manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih
banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.[12]
E. Ibn
Taimiyah
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim
bin Taimiyah lahir di kota Harran, wilayah Siria, pada hari Senin, 10 Rabi’ul
Awwal 661 H. Bertepatan dengan 22 Januari 1263 M, dan wafat
di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulkaidah, 728 Hijriyah, bertepatan dengan 26
September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab ad-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam
(627-672 H). Adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di
masjid Agung Damaskus. Selain sebagai khatib imam besar di masjid tersebut.
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang
anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan
dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam
menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam
beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran.
Didukung oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, kecerdasan otak
dan kepribadian yang baik Ibn Taimiyah yang dikenal dengan wara’, zuhud dan tawadhu nya,
ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama besar yang menguasai
banyak ilmu dan pengalaman, disamping juga sebagai pejuang yang tangguh.[13]
b) Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Ibn Taimiyah dalam bidang pendidikan dapat
dibagi kedalam pemikirannya dalam bidang falsafah pendidikan, tujuan pendidikan
bahkan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. Seluruh pemikirannya dalam bidang
pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang jelas sebagaimana terdapat
dalam Al-Quran dan As-Sunnah melalui pemahaman yang mendalam, jernih dan enerjik.
Dalam bidang falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah
ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul.
Sementara mempergunakan ilmu itu akan dapat menjamin kelangsungan dan
kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan terjerumus kedalam kehidupan
yang sesat. Bertolak dari pandangan tersebut, maka menurut Ibn Taimiyah bahwa
menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan
sikap ketaqwaan kepada Allah dan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkannya
kepada orang yang belum tahu merupakan shadaqah dan mendiskusikannya merupakan
tasbih.[14]
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah
dibangun atas dasar falsafah pendidikannya, yaitu tujuan pendidikan diarahkan
pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seorang yang berpikir, merasa
dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan
apa yang diperintah Al-Quran dan As-Sunnah, pendidikan juga harus diarahkan
pada terciptanya masyarakat yang baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Quran
dan As-Sunnah.[15]
Konsep kurikulum yang dibangun Ibn Taimiyah didasarkan
pada falsafah dan tujuan pendidikan. Menurutnya bahwa kurikulum atau materi
pelajaran yang utama yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan
putra-putri kaum muslimin sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan
mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada empat
tahap kurikulum yang dijelaskan Ibn Taimiyah dalam hubungannya dengan materi
pelajaran yaitu; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan
mengesakan Tuhan (at-tauhid). Kedua, kurikulum yang
berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat). Ketiga,
kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang medorong manusia mengetahui secara
mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat,
kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui
perbuatan-perbuatan Allah.[16]
2. Tokoh
Pendidikan Modern
A. Prof.
Dr. H. Mahmud Yunus
a) Riwayat Hidup
Mahmud Yunus dilahirkan di Batusangkar, Sumatra Barat
pada tanggal 10 Februari 1899 (30 Ramadhan 1336 H). Dan wafat pada tanggal 16
Januari 1982. Ia termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih
memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha
memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan
kecenderungannya yang kuat memperdalam ilmu agama Islam. Ketika berumur 7 tahun
ia belajar membaca Al-Quran dibawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal
dengan nama Engku Gadang. Selanjutnya tahun 1917, Mahmud Yunus bersama
teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan
belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah disamping sistem
madrasah dengan mengajarkan kitab-kitab mutakhir.[17]
Dibidang politik, Mahmud Yunus ikut memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat residen
mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama ia menjadi anggota Chu
Sangi Kai.[18]
b) Pemikiran Pendidikan
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1930, Mahmud
Yunus memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di Sungayang dengan
nama al-Jami’ah al-Islamiyah, disamping mendirikan sebuah sekolah
yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan umum, yakni normal Islam. Madrasah
ini yang pertama kali memiliki laboratorium untuk ilmu fisika dan kimia di
Sumatra Barat. Pembaruan di dua madrasah ini diutamakan pada pembaruan metode
mengajar bahasa Arab.
Mahmud Yunus memiliki perhatian dan komitmen yang tinggi
terhadap upaya membangun, meningkatkan dan pengembangan pendidikan agama Islam
sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Gagasan dan pemikirannya
dalam bidang pendidikan secara keseluruhan bersifat strategis dan merupakan
karya perintis, dalam arti belum pernah dilakukan tokoh-tokoh pendidikan Islam
sebelumnya. Perhatian dan komitmennya terhadap pembangunan, peningkatan dan
pengembangan pendidikan Islam tersebut dapat dilihat sebgaia berikut. Pertama,
dari segi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencerdaskan perseorangan, untuk
kecakapan mengerjakan pekerjaan. Selain itu Mahmud Yunus juga menilai pendapat
yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempelajari dan mengetahui
ilmu-ilmu agama Islam serta mengamalkannya seperti, ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqh.[19]
Kedua, dari segi
kurikulum yang berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab, Mahmud Yunus Menawarkan
kurikulum pengajaran bahasa Arab yang integrated antara satu
cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa Arab. Ketiga, dalam
bidang kelembagaan, terlihat bahwa Mahmud Yunus termasuk orang yang memelopori
perlunya mnegubah sistem pengajaran yang bercorak individual kepada sistem
pengajaran klasikal. Keempat, dalam bidang metode pengajaran, Mahmud Yunus amat
memberikan perhatian yang cukup besar. Untuk itu ia memperkenalkan buku
pegangan bagi guru-guru agama yang berisi tentang cara mengajarkan agama yang
sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan tingkat usia dan jenjang
pendidikan yang sedang diikutinya.[20]
B. Ki
Hajar Dewantara
a) Riwayat Hidup
Ki hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryaningrat
dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H di Yogyakarta. Dan wafat
pada 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H (berusia 70 tahun). Pada tahun
1912, nama Ki hajar Dewantara dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang
mendapat perhatian Cokroaminoto untuk memperkuat barisan Syarekat Islam cabang
Bandung. Oleh karena itu, ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang
masing-masing diangkat dengan ketua dan wakil ketua, Ki Hajar Dewantara
diangkat sebagai sekretaris. Namun keterlibatannya dalam Syarekat Islam ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun.
Hal ini terjadi, karena bersama dengan E.F.E. Dowes Dekker dan Cipto
Mangunkusumo, ia diasingkan ke Belanda (1913) atas dasar orientasi politik
mereka yang cukup radikal.
Sebagai tokoh pergerakan politik dan tokoh pendidikan
nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran
melainkan juga terlihat aktif sebaagi pelaku yang berjuang membebaskan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang
diperjuangkannya melalui Sistem Pendidikan Taman Siswa yang didirikan dan
diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki
konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia.[21]
b) Pemikiran pendidikan
Pada masa hidupnya, Ki Hajar Dewantara banyak mengabdikan
dirinya bagi kepentingan pendidikan nasional, melalui Taman Siswa yang
didirikan dan diasuhnya. Dalam kapasitasnya, ia banyak memiliki gagasan dan
pemikiran dalam bidang pendidikan yang dikemukakannya. Pertama,
visi misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan
sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat
manusia secara universal, sehingga mereka dapa berdiri kokoh sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas
dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda
dengan bangsa lain. Kedua, kurikulum. Ki Hajar Dewantara mengatakan
bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu
umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat. Ki Hajar Dewantara
menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada pembentukan
kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan
emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual.[22]
Ketiga, Ki Hajar Dewantara melalui lembaga pendidikan
yang diasuhnya melihat bahwa pendidikan agama dan budi pekerti amat penting
bagi kehidupan manusia. Yaitu, pendidikan agama yang didasarkan pada toleransi,
kebebasan menyatakan sikap keagamaan, tapi tetap realistik, yaitu sikap yang
mengakui adanya mayoritas agama tertentu, tanpa mengurangi kebebasan agama
minoritas.[23]
C. K.H.
Imam Zarkasyi
a) Riwayat Hidup
K.H. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur, tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985
dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. Ayahnya yang bernama
Santausa Annam Bashari berasal dari keluaraga elit Jawa yang taat beragama dan
merupakan generasi ketiga dari pimpinan pondok Gontor lama dan generasi kelima
dari pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan kesepuhan Cirebon. Sedangkan
ibunya adalah keturunan bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad
Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegaraan).
Ketika ia belajar di Solo, salah seorang gurunya yang
amat berpengaruh ke dalam diri Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama,
tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh
pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Pengalaman belajar yang beragam yang didukung oleh
kecerdasan dan kesungguhannya, menyebabkan Imam Zarkasyi tampil dengan tingkat
penguasaan yang memadai dalam berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum.
Selain itu kecenderungan dan bakat Imam Zarkasyi untuk menjadi pendidik semakin
besar. Ia memilih bidang pendidikan sebagai lahan perjuangan dan pilihan hidupnya.[24]
b) Pemikiran pendidikan
Berbagai pengalaman dalam memajukan pendidikan telah
mendorong Imam Zarkasyi memeras otak mencari terobosan baru dalam bidang
pendidikan Islam. Terobosan baru ini ia wujudkan hampir pada sekuruh aspek
pendidikan. Tujuan pendidikan yang ditekankan pada tercapainya keseimbangan
hidup yang bahagia didunia dan akhirat. Dalam bidang kurikulum pendidikan
sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut. Yaitu kurikulum yang tidak hanya
memuat ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga ilmu pengetahuan modern yang
didukung oleh kemampuan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan,
tulisan dan sebagainya. Dalam bidang metode, diarahkan kepada pendekatan yang
menekankan pada kemampuan menggunakan atau mengamalkan setiap bidang keilmuan
yang diajarkan, khususnya dalam bidang bahasa Arab dan Inggris.[25]
D.Prof. Dr. Harun Nasution
a) Riwayat Hidup
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, daerah
Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari Selasa, 23 September 1919. Ia adalah
putra dari lima bersaudara. Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan
ditempuh oelh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda,
Holladsch Inlandsch School (HIS) yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun
1934 yang pada waktu itu ia sudah berusia 14 tahun. Selama belajar di Sekolah
Dasar ini Harun Nasuition berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu
pengetahuan umum.[26]
Dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution adalah
sebagai ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan
corak pemikirannya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak
pemikiran yang demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pemikiran Islam
yang pada umumnya berkembang saat itu.[27]
b) Pemikiran Pendidikan
Selama kepemimpinannya di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini telah banyak gagasan pembaruan yang dipraktikkannya, antara
lain; Pertama, menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain
dilakukan dengan cara mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hafalan,
dan cenderung menganut mazhab tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang
mengajak mahasiswa berfikir rasional, kritis, inovatif, objektif dan menghargai
perbedaan pendapat. Kedua, memperbarui kurikulum. Upaya ini antara
lain dilakukan Harun Nasution dengan cara memperbarui kurikulum IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang hanya memuat bidang kajian agama dari aliran mazhab
tertentu saja, maka di zaman Harun Nasution kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ditambah dengan kajian ilmu kalam dengan berbagai aliran mazhabnya,
filsafat, tasawuf, serta ilmu-ilmu dasar seperti sosiologi, antropologi, bahkan
juga ilmu-ilmu alam. Ketiga, mejadikan IAIN sebagai pusat pembaruan pemikiran
dalam Islam. Julukan yang diterima IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
pusat pembaruan pemikiran dalam Islam tersebut muncul karena pengaruh dari
serangkaian usaha yang dilakukan Harun Nasution, terutama dalam rangka
menumbuhkan tradisi ilmiah.[28]
E. K.H.
Hasyim Asy’Ari
a) Riwayat Pendidikan
Hasyim Asy’Ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur.
Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14
Februari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd Al
Wahid ibn Abd Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd Al Rahman Ibn
Abd Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang
disebut dengan Sunan Giri. Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja
Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim
Asy’Ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan
sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu.
Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh,
bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim
dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran
akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu
jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’Ari satu-satunya. Bagi ulama
lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar
melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih
rendah dibandingkan Hasyim Asy’Ari.[29]
b) Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
dalam kitab Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif,
di mana beliau mengawali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat
Al-quran, Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengandung hikmah.
Dengan cara ini K.H. Hasyim Asy’Ari memberi pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus
dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun demikian, ide-ide pemikirannya
dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliau. Tujuan
pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’Ari adalah untuk membentuk
masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah).[30]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar